Prasangka yang diperturutkan berpotensi mendorong orang untuk mencari-cari kesalahan saudaranya, atau minimal menggunjingkannya. Dan hal ini dapat menjadi awal terputusnya tali persaudaraan.
"Ada sebuah cerita bahwa ada sepasang suami isteri yang dikarunia bayi laki-laki yang sangat tampan, karena sayangnya, cinta kasih suami isteri tersebut tercurah sepenuhnya pada si bayi. hingga suatu ketika, si isteri menitipkan pengasuhan bayi tersebut pada suaminya saat ia hendak pergi mandi. Saat sedang mengasuh bayi kecilnya, datanglah seorang utusan yang meminta bapak itu untuk segera menghadap raja. Dengan segera si bapak bergegas pergi, dan meninggalkan bayinya di tengah rumah. beruntung keluarga ini memiliki tupai cerdik yang dengan setia menunggui sang bayi. Tak lama kemudian muncul seekor ular berbisa yang hendak memangsa si bayi. Maka terjadilah pertempuran sengit antara tupai dengan ular, hingga akhirnya si ular terbunuh dengan leher hampir putus.
Beberapa saat berlalu, bapak itu pulang ke rumah. Ia sangat terkejut melihat sang tupai menerobos dari balik pintu dengan mulut berlumuran darah. Dalam hatinya, timbul prasangka bahwa tupai peliharaannya telah berbuat jahat pada putranya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu menghujamkan tongkatnya ke kepala tupai. binatang malang itu pun mati seketika dengan kepala hancur.
Namun, tatkala masuk ke dalam rumah, ia mendapati bayinya masih dalam keadaan sehat. Dan disampingnya tergolek bangkai seekor ular berbisa berlumuran darah. Lelaki itu segera sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya: membunuh tupai yang nyata–nyata telah menyelamatkan nyawa anaknya."
Kisah yang diungkapkan Ibn Al-Muqaffa’ dalam Kalilah wa Dimnah (Fabel–Fabel Kehidupan) tersebut menggambarkan bahwa prasangka selalu membawa penyesalan serta akibat yang tidak menyenangkan. Bila sudah berprasangka orang akan “merasa” dan “bertindak” tanpa landasan yang kuat, sehingga apa yang dilakukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pantas bila Rasullullah SAW menyamakan prasangka dengan kedustaan. “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta,” demikian bunyi hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Dalam Alquran, Allah SWT dengan tegas melarang hamba-Nya untuk berprasangka buruk (su’udzhan). “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS Al Hujuraat 12).
Mengomentari ayat tersebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Allah SWT melarang orang-orang beriman berprasangka buruk (su’udzhan), yaitu melakukan tuduhan dan sangkaan terhadap keluarga, kerabat, ataupun siapa saja yang tidak pada tempatnya, karena hal itu termasuk perbuatan dosa. “Maka jauhilah banyak prasangka itu sebagai sebuah kewaspadaan,” ungkap Ibnu Katsir lebih lanjut.
Abdul Hamid Al-Bilali mengungkapkan bahwa prasangka tidak akan terlepas dari dua kondisi.
Kondisi pertama, untuk sesuatu yang dapat diketahui dan diperkuat dengan dalil dan bukti-bukti. Sangkaan atau dugaan dalam kondisi ini boleh untuk dijadikan hukum. bahkan, sebagian besar hukum-hukum syariah dibentuk atas dasar praduga semacam itu, seperti qiyas, riwayat satu orang, dan dan sebagainya seperti nilai-nilai kebaikan dan undang-undang peradilan.
Kondisi kedua, adalah prasangka atau praduga yang tidak berlandaskan dalil dan bukti-bukti. Kondisi semacam ini tidak lebih dari dugaan kosong belaka, dan tidak layak dijadikan landasan untuk menerapkan hukum. Sebenarnya, prasangka jenis kedua inilah yang tidak dilandaskan pada bukti yang akurat dan korelasi dominan, dan tidak boleh kita lakukan dan wajib hukumnya untuk kita jauhi.
Pertanyaannya, mengapa Allah dan Rasul-Nya melarang kita berprasangka (buruk)? Islam adalah ajaran yang lebih mendahulukan pencegahan dari pada pengobatan. Islam akan bersikap tegas dalam memotong hal-hal yang berpotensi menimbulkan mudharat yang lebih besar. Demikian pula dengan prasangka. Walau tak tampak secara langsung di permukaan, tapi ia berpotensi menggiring manusia pada perbuatan dosa yang lebih besar.
Prasangka yang diperturutkan berpotensi mendorong seseorang untuk mencari-cari kesalahan saudaranya, atau minimal menggunjingkannya. Dan, inilah langkah awal terputusnya hubungan silahturrahmi. Karena Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al–Hujuraat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah sebagian kamu mencari-cari kesalahan dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
Prasangka dapat pula melahirkan sikap munafik. Dalam arti apa yang diucapkan dan dilakukan bertentangan dengan kehendak hati. Lain di bibir lain di hati. Bisa jadi saat berinteraksi dengan orang yang kita sangkai, kita berkata sesuatu padahal hati kita menyangkal atau meragukannya. Prasangka dapat bisa menyebabkan orang berdusta dan mengabaikan amanah khususnya dari orang yang diprasangkai. Padahal, kemunafikan adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah.
Yang tak kalah bahayanya, prasangka bisa membuat hubungan interpersonal menjadi kurang hangat. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan bahwa semua amal dan prilaku diawali oleh persepsi dan cara pandang seseorang.
Prasangka buruk hakikatnya adalah pikiran negatif. Dan, perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pikirannya. Karena itu, ketika seseorang berprasangka buruk, maka setiap gerak dan prilakunya akan menampakkan hal yang buruk juga. Termasuk raut muka, gerak tabuh, ucapan, dan tingkah lakunya.
Prasangka timbul akibat tidak lengkapnya informasi yang sampai tentang seseorang. Akibatnya si penerima informasi hanya menduga-duga bahwa orang yang dilihatnya seperti A, B, atau C. Tidak ada kepastian. Karena itu, cara efektif untuk meminimalisasi prasangka adalah dengan menyerap informasi secara lengkap, tidak sepotong-potong. Dalam bahasanya Aa Gym, informasi yang diserap harus memenuhi kriteria BAL (benar, akurat, dan lengkap).
Kedua, prasangka bisa timbul karena pencitraan buruk terhadap seseorang. Karena itu Allah SWT merancang “formula tabayyun” agar umatnya tidak jatuh pada prasangka akibat kedengkian orang-orang fasik. Difirmankan, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujuraat : 6).
Tabayyun dapat diartikan sebagai klarifikasi, uji kebenaran, atau mengecek ulang tentang kebenaran sebuah berita. Sikap kritis itu diperlukan untuk menghindari fitnah yang akhirnya akan menimbulkan penyesalan dikemudian hari sebagai dampak dari informasi yang salah.
Ketiga, prasangka timbul dan akan tumbuh subur dalam hati yang kotor. Maka, langkah paling mendasar untuk meminimalisasi lahirnya prasangka adalah dengan menjaga kesucian hati. Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Quran mengungkapkan bahwa putihnya hati yang tidak tercoreng prasangka buruk akan membebaskan manusia dari kegamangan dan keraguan; juga melahirkan ketenangan yang tidak tercemari kekhawatiran. “Alangkah indah kehidupan yang terbebas dari prasangka dan praduga kosong!,” demikian ungkapnya.
Melihat fenomena kita di Indonesia sekarang ini sangatlah banyak hal-hal yang negatip muncul akibat prasangka tadi, contohnya saudara sekandung bisa saling bunuh, orang tua dan anak demikian juga, bahkan antara sesama teman juga terjadi demikian. Dan memang dampak dari sifat ini sangatlah merugikan. Marilah kita introspeksi diri kita agar jangan sampai jatuh dalam sifat jelek tersebut. ?
sumber : http://muhamadfikri.wordpress.com/2009/07/30/prasangka/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar