Buscar

Pages

السلام Pictures, Images and Photos

Kisah Cinta 'Ali dan Fathimah Radhiyallahu'anhuma


Shoutussalam.com. Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad Ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab…

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya 

Nabi berkata,”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.

’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Ia mengambil kesempatan.

Itulah keberanian.

Atau mempersilakan.

Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah 
Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
جمع الله شملكما، وأسعد جدكما، وبارك عليكما، وأخرج منكما كثيراً طيباً

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Fathimah Az-Zahra

Mukadimah

Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.
Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi. 
Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.”
Di lain kesempatan, beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).
Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturanundang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.
Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.
Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.
Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.
Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan. 
Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.
Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta. 
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw.
Istri tercinta Imam Ali as.
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.

Hari Lahir

Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau. 
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.

Fatimah di Rumah Wahyu

Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as. 
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.” 
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu. 
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.

Pernikahan Fatimah as

Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?" 
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”

Acara Pernikahan

Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.” 
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.” 
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya. 
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini. 
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.

Keluarga Teladan

Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin. 
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as. 
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.

Buah Hati

Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.

Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as

Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman. 
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.

Kepergian Sang Ayah

Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk. 
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis. 
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan. 
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.

Kepergian Putri Tercinta Rasul

Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu. 
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”[]

Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as

Nama        : Fatimah.
Julukan    : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah         : Mahammad.
Ibu            : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat     : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat       : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam    : Tidak diketahui



sumber : http://remajaab.blogspot.com/2011/04/fatimah-az-zahra-as-penghulu-wanita.html

Part 1 : Cerpen Annida untuk Ibu di Surga

Oleh     : Auni Ra’eesah Hidayat

Ujung pagiku gerimis penuh tanda tanya. Matahari mulai menebar cahayanya di sudut-sudut desa. Pagi yang gelap perlahan-lahan menjadi terang. Aku baru saja selesai shalat subuh. Ini adalah kali ketiga aku terlambat shalat. Padahal ibuku selalu menasihatiku agar jangan menyepelekan waktu shalat subuh. Berarti ini adalah yang ketiga kalinya aku mengecewakan beliau.
Annida Qurrata’aini, itulah nama terbaik yang diberikan ibuku tercinta. Aku sangat senang menyandang nama ini. Sejarah pembuatan namaku pun begitu unik. Kata ibu, di saat beliau hamil, beliau suka sekali membaca majalah Annida bahkan berlangganan setiap kali terbit. Oleh karena itu nama depanku adalah Annida. Dan Qurrata’aini itu diambil dari bahasa arab yang berarti penyejuk mataku. Nama yang begitu indah kurasa. Mungkin karena itu pemberian dari ibu. Jadi aku merasa bangga. Tapi sayang, sekarang beliau sudah tiada. Meninggalkanku dan ayah sekitar satu tahun lamanya. Tidak ada lagi cerita pendek yang dibacakan ibu setiap kali aku ingin tidur dari usia balita hingga aku tamat SD. Tidak ada lagi ocehan ibu yang bersikeras menyuruhku mulai aku SMP sampai aku bersekolah di SMA, dan akhirnya beliau meninggal dunia akibat penyakit jantung yang diderita. Andai beliau bilang padaku tentang penyakitnya, aku tidak akan pernah menolak sedikit pun permintaannya. Tapi begitulah manusia, manusia akan merasa kehilangan jika sesuatu sudah tiada. Jika orang yang mencintainya pada akhirnya meninggalkannya. Sungguh hatiku terasa remuk redam disaat teringat kembali ocehan-ocehan beliau pada waktu itu.
“Nak.. ini ada pengumuman lagi di majalah Annida. Lomba menulis cerpen tentang remaja. Nah, temanya mudah. Lebih baik kamu coba dalam kesempatan kali ini. Bagaimana? Nanti ibu yang akan kirim lewat pos.”
“Nida malas Bu. Ribet. Lagi pula tidak akan menang, Bu.”
“Nak.. nak.. rezeki siapa yang tahu. Allah yang mengatur. Kita berusaha dan berdo’a saja. Kemudian serahkan semuanya pada Allah.”
“Ah ibu.. Nida bilang, Nida malas membuat cerpen. Tidak akan menang. Buang-buang waktu. Mending belajar untuk persiapan menghadapi ulangan semester.”
Aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Satu episode hidup yang sangat menyayat-nyayat batinku. Aku tidak tahu sampai kapan peristiwa terakhir aku menolak tawaran ibu itu akan terlupakan. Aku hanya bisa berharap, suatu saat aku bisa memenuhi permintaan ibu meski sekarang aku tidak bisa melihat senyum bibirnya saat menyaksikanku tampil sebagai juara di harian Annida.
Aku berhenti dari pengembaraan panjang memutar waktu ke masa lalu. Tak terasa air mataku meleleh pelan. Pipiku basah sebasah hatiku. Aku tak mau larut dalam kesedihan, kualihkan mata dan pikiran menuju jendela dunia. Di meja kecilku, ada buku yang berjudul “Melukis Pelangi” karya Oki Setiana Dewi, aktris sekaligus penulis yang digandrungi sebagian besar remaja putri, tak terkecuali aku. Kuraih buku itu dengan tangan kanan. Tangan kiriku mengusap lembut tangisku. Bagiku, Oki adalah sosok perempuan muda yang berkarakter dan berprinsip. Meskipun dia seorang aktris, dia masih bertahan dengan gaya dandanannya yang menutup aurat, selain itu aku juga menggebrak pola pikir para wanita modern sekarang ini melalui tulisannya yang sarat makna. Aku tersenyum kecut. Setiap kali aku melihat wajah Oki. Aku jadi teringat perbincangan kecil dari para tetangga. Kata mereka aku mirip dengan pemeran wanita Anna Althafunnisa di film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Entahlah. Yang penting mereka senang. Aku juga ikut senang.
Baris demi baris kubaca. Tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah pengharapan, harapan menjadi sesosok orang yang menginspirasi seperti yang diharapkan almarhumah ibuku tercinta. “Ya Allah.. Kau menciptakan makhluk yang begitu indah. Kau ciptakan dia dengan rupa yang cantik. Kau berikan dia anugerah berupa potensi menulis yang mumpuni. Kau berikan aku nikmat dengan rezeki yang berlimpah. Ya Rabb.. aku manusia yang lemah dan tak berdaya. Aku belum mampu menjadi Rabiatul Al Adawiyah yang kecintaannya terhadap-Mu melebihi kencitaannya terhadap apapun. Namun aku hanya ingin menjadi wanita yang berguna bagi agama dan umat muslim di dunia. Dan aku ingin membahagiakan ibu disana dengan memenuhi permintaannya. Ya Rabb, aku baru sadar bahwa ibu menginginkan yang terbaik untukku. Mungkin beliau mengharapkanku menjadi penulis yang menginspirasi. Kabulkanlah do’aku Ya Rabb.” Pintaku. Sesak.
***
Tepat pukul 07.30 bel berbunyi. Siswa-siswi berbaris di halaman sekolah untuk melaksanakan upacara bendera setiap senin pagi. Seusai pelaksanaan, aku menyempatkan diri untuk melihat pengumuman di mading sekolah. Disana tertulois bahwa ada lomba penulisan cerpen dan komik tingkat umum. Aku senang sekali. Kurasa ini adalah jawaban dari Allah atas do’aku. Tapi sayang, ada tulisan “Hanya untuk kelas X dan XI.”
Di dalam kelas, pikiranku tidak karuan. Aku masih saja kepikiran tentang lomba cerpen dan komik di annida-online. Karena itu, kuputuskan untuk meminta bantuan pada bagian konseling. Di ruang konseling, aku menyampaikan maksud dan tujuanku pada guru konseling yang bersangkutan, yakni Bu Indah.
“Maaf ya bu kalau kehadiran saya tidak tepat waktu atau mengganggu ibu.” Ucapku sungkan.
“Tidak apa-apa. Justru ibu sangat senang karena ada yang ingin konsultasi dengan ibu. Mm.. ada apa Nid? Ada masalah?” Jawab bu Indah ramah.
“Begini Bu, mengenai pengumuman tentang adanya lomba cerpen dan komik yang diselenggarakan Annida di mading itu, sebenarnya saya ingin sekali ikut tapi pihak sekolah tidak memberikan ruang untuk kelas XII. Menurut ibu apa yang seharusnya saya lakukan?” Aku semakin malu dengan Bu Indah.
“Iya ibu mengerti, tetapi mungkin pihak sekolah menginginkan yang terbaik untuk peserta didik. Kan kamu tahu, tiga hari lagi kelas XII akan menghadapi ujian. Kalau seandainya kamu ikut lomba, apakah tidak akan mengganggu konsentrasi belajarmu?” Bu Indah tampak memberikan pengertian padaku. Terlihat dari kalimat beliau yang lembut bahwa beliau menginginkan agar aku mengurungkan niatku.
“Insya Allah tidak, Bu.” Aku tetap bersikeras. Aku merasa ini adalah kesempatan. Mumpung pihak sekolah memfasilitasi registrasi dan pengiriman.
“Nid. Ibu lihat kamu memang ingin sekali berpartisipasi. Tapi bukankah setelah ujian nanti ada lomba-lomba yang lain. Misal, lomba menulis cerpen Annida lain waktu yang bisa kamu ikuti. Jadi kamu tidak perlu khawatir, masih banyak waktu dan tempat untuk mengukir prestasi?” Bu Indah berusaha meyakinkan. Tapi aku tetap merasa ingin ikut. Karena tema kali ini adalah tentang impian. Aku merasa mudah menuangkan inspirasi jika temanya sesuai dengan keinginanku. Dan kapan lagi ada lomba di Annida yang menyelenggarakan lomba cerpen dengan tema yang seperti ini.
“Tapi Bu, “ tiiit tiiit bel berbunyi tanda masuk kelas. “Emm terima kasih atas waktunya ya Bu, saya pamit dulu.” Pintaku sembari menyalami tangan beliau.
“Iya, nanti ibu coba bicarakan dengan pihak kesiswaan yang menanganai masalah lomba. Kalau memang rezekimu, Insya Allah ada jalannya.” Bu Indah berusaha menenagkan hatiku. Beliau usap-usap pundakku. Pelan.
Langkahku gontai menuju kelas. Aku merasa hilang harapan untuk ikut lomba. Keputusan sekolah mungkin sudah akhir, tidak dapat diganggu gugat. Pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko atas kegagalanku dalam ujian disebabkan oleh obsesi mengikuti lomba. Memang seharusnya begitu, aku mencoba untuk mengerti. Aku berpikir sejenak, terbersit rencana untuk mengurus registrasi dan pengiriman lomba itu sendiri. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kenyataannya begitu pahit. Disana tertulis, biaya registrasi sebesar Rp. 50.000 yang harus ditransfer ke nomor rekening yang tertera di papan pengumuman itu. Jumlah registrasi itu setara dengan uang jajanku selama setengah bulan. Jika aku nekat, maka aku harus ekstra hemat untuk bertahan hidup. Dan itu tidak masalah bagiku..
Pulang dari sekolah, aku bergegas menuju rumah. Di halaman rumah, Ayah tampak sibuk membersihkan sepeda ontel. Hatiku lagi-lagi teriris. Semenjak kepergian ibu. Hidupku dan ayah semakin susah. Dulu, ibu yang bekerja karena ayah terkena struke. Sampai sekarang pun ayah masih tidak bisa bekerja untuk pekerjaan berat karena diharuskan untuk istirahat yang cukup. Hal itu semakin membuat semangatku berkobar untuk ikut lomba. Selain bisa memenuhi permintan ibu, aku juga bisa memberikan sedikit sesuatu untuk ayah nantinya, hasil dari keringatku sendiri. Aku berhenti menghayal. Kulepas sepatu kemudian sesegeranya menuju ke kamar. Membuka buku bekas, lalu cepat-cepat menulis kerangka cerpen yang akan dibuat. Tiba-tiba Ayah memanggilku. Aku segera beranjak menuju halaman. Di halaman, ayah mengelap sepeda ontelnya sambil sesekali melihatku dengan wajah datar.
“Ada apa ayah?” Tanyaku sedikit takut.
“Masuk rumah kok tidak mengucap salam dulu? Tidak ingin dido’akan keselamatan oleh para malaikat?” Ayah bertanya sambil menyindir. Beliau tersenyum kecil. Sebab sejak kecil, aku selalu diajari untuk mengucapkan salam ketika masuk rumah meskipun di dalam rumah tidak ada orang.
“Kamu kan bukan anak kecil lagi, Nak. Sudah 18 tahun. Masak masih diperingati?”
“Astaghfirullahaladzim, Nida lupa, Yah.” aku merasa sangat malu pada ayah. Kutundukkan kepala. Aku takut sekali sampai ayah marah. Karena yang kumiliki sekarang hanyalah ayah. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang kedua kalinya. Seperti aku selalu membantah keinginan ibu.
“Memang ada apa? Ayo cerita sama ayah.” Tanya ayah sembari membersihkan tangannya dengan air yang ada di ember.
“Nida ingin ikut lomba cerpen, ayah. Besok batas akhir pengiriman. Jadi malam ini sudah harus selesai mentahnya. Baru nanti Nida ketik besok harinya di rental computer. Mumpung libur penyegaran otak selama tiga hari sebelum ujian nasional.”
“Lha. Mau ujian kok malah ikut lomba?” Ayah bingung.
“Hmm.. ayah, Nida kan bukan murid yang suka belajar sistem kebut semalam. Hhee.. Insya Allah segala amunisi untuk ujian sudah dipersiapkan. Sekarang hanya penyegaran otak saja, ayah.” Aku tersenyum kecut. Aku yakin ayah pasti akan mendukung apa yang kulakukan. Sejauh itu bukan hal keburukan.
“Ya baguslah kalau begitu. Oya, besok ayah mau ke rumah Pak Budi. Jadi mengirim naskahnya ke pos sama ayah saja.”
“Naskahnya tidak dikirim lewat pos. Tapi lewat internet, ayah. Go green gituu.. hhee.”
“Walah, ayah tidak mengerti internet-internetan. Ya sudah, ayah pergi dulu. Jaga rumah.”
“Iya yah.” Sahutku sembari beranjak menuju kamar.
Aku berusaha membuat kerangka karangan dengan semenarik mungkin. Kuputar otak hingga dahiku mengerut. Sekujur wajahku bermandikan peluh. Setelah berjam-jam menulis, akhirnya didapatlah sebuah cerpen yang berjudul “Cerpen Annida untuk Ibu di Surga.”
Besok harinya, aku berangkat ke warung internet dengan hati yang berbunga-bunga. Meskipun harus berjalan kaki sejauh 2 km, itu tak membuat surut keinginanku untuk bisa ikut sebagai peserta lomba. Aku merasa yakin cerpen ini akan masuk dalam kategori 3 besar.
Sudah hampir satu jam aku menghabiskan waktu di warnet. Alhamdulillah, akhirnya kelar juga. Kubuka situs Annida-online. Siap kukirim. Tetapi aku seperti melupakan sesuatu. Ya, biaya registrasi belum kusetor ke Bank. Aku tidak bisa mengirim kalau belum mendapat balasan email dari Annida-online. Kulihat ke luar. Bank Syariah Mandiri masih buka. Dengan cepat aku beranjak keluar untuk mengirimkan biaya registrasi secepatnya. Namun si penjaga warnet menyapaku, “Dik. Apa tidak ingin dimatikan dulu komputernya? Biayanya masih jalan lho.”
“Tidak apa-apa kak. Nanti keburu orang yang menempati. Soalnya saya mau memakainya lagi nantinya.”
“Iya deh. Oya memang ada apa? Kok buru-buru sekali?” Tanya si penjaga warnet sambil memberikan kembalian kepada seorang anak yang berusia 7 tahunan.
“Iya nih kak saya memang sedang buru-buru. Takut Bank di seberang tutup. Soalnya hari ini batas akhir pengiriman lomba cerpen yang ingin saya ikuti. Saya pamit dulu ya kak.”
Aku keluar dari warnet tanpa menengok ke kanan dan ke kiri. Naas, motor nakal berkecepatan tinggi menyerempetku di tikungan jalan.
***
Aku siuman. Aku tergeletak di kamarku. Di sekelilingku tampak ayah dan beberapa teman sekelasku. Aku teringat lomba cerpen yang akan kukirim. Aku minta izin pada ayah untuk pergi ke Bank dalam keadaan tangan dan pelipisku yang masih diperban dan kepalaku juga masih terasa sedikit sakit. Tapi ayah tidak mengizinkanku.
“Inilah akibatnya terlalu keras kepala.” Kata ayah, sedikit marah.
“Tapi yah, bagaimana dengan cerpen Nida?” Aku sangat sedih karena ayah tidak mengizinkanku.
“Cerpen melulu yang dipikirkan. Kesehatanmu yang dipikirkan terlebih dahulu.” Ayah semakin marah.
“Insya Allah.” Balasku pelan. Aku takut ayah akan lebih marah lagi. Aku tidak habis pikiran kejadiannya sampai seperti ini. Aku sudah mengusahakan sekuat tenaga dan pikiranku. Meskipun aku bersikeras ingin mengirimkannya. Toh hari sudah petang, tidak aka nada Bank yang buka jam segini. Aku pasrah. Aku tidak ingin lagi memikirkan lomba cerpen itu. Dan aku juga menjadi sadar bahwa aku terlalu keras kepala. Benar kata ayah.
***
Ujian sudah ditempuh. Satu bulan telah berlalu begitu saja. Jujur, aku masih teringat tentang lomba cerpen yang aku bela mati-matian sebulan yang lalu. Andai cerpennya kukirim. Bagaimana hasilnya?
Hari ini tepat berkenaan dengan hasil lomba diumumkan. Aku masih asja teringat lomba itu. Pikiranku kualihkan. Tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat.
“Assalamu’alaikum..” Suara lembut dari seorang wanita di seberang sana.
“Wa’alaikum salam warahmatullah..” Sahutku datar.
“Kami dari redaksi Annida. Selamat, Anda sudah memenangkan lomba penulisan cerpen Annida tahun ini dengan cerpen anda yang berjudul “Cerpen Annida untuk Ibu di Surga.” Anda berhasil sebagai pemenang utama. Hadiah, bingkisan dan piagam penghargaan akan kami kirim secepatnya.”
Klik.. ponselku mati. Aku langsung sujud syukur. Aku tidak peduli siapa yang mengirimkan naskah cerpen itu. Aku senang sekali. Siapapun dia. Aku berterima kasih padanya. Usahaku tidak sia-sia. Allah telah mengabulkan permintaanku. Allah memang Maha Adil.
Aku merasa senang sekali. Aku tidak menyangka alur yang digariskan Allah seperti ini. Aku menjadi sangat yakin bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil, dan hasil yang terbaik tergantung bagaimana usaha seseorang itu dalam menggapai suatu tujuan. Serta jangan pernah berhenti untuk menuliskan impian meskipun dalam kertas buram. Di kala seseorang masih mempunyai impian berarti dia masih mempunyai peluang keberhasilan.
“Bu.. ini adalah cerpen Annida untuk Ibu di Surga. Dan untuk si pengirim itu, siapa kah kau sesungguhnya? Penjaga warnet kah? Entah lah.”
----------------------------------------------------------------------

Valentine Berdarah!

Ini adalah satu kisah tragis yang menimpa seorang anak manusia. Kisah yang teramat tragis, yang tentunya tak akan pernah terbayangkan akan terjadi namun ternyata benar-benar terjadi .

Kisah ini terjadi pada diri seorang gadis desa. Gadis yang dibesarkan di lingkungan keluarga petani. Kehidupan keluarganya tidak jauh berbeda dengan keluarga-keluarga lainnya di desa itu, hidup sederhana.
Ia tumbuh dengan kasih sayang dari kedua orang tua yang sangat menyayanginya, yang senantiasa berharap akan kebahagiaan putrinya. Namun ternyata, di saat gadis yang mereka banggakan itu tumbuh dewasa, apa yang mereka harapkan dan impikan pupus di tengah jalan, berganti dengan kesedihan yang mendalam.

Awalnya, gadis itu baik-baik saja, beraktivitas seperti biasanya. Akan tetapi, mungkin media massa yang menayangkan tontonan yang bersifat tidak mendidik telah mempengaruhi pikirannya. Apalagi, dia adalah gadis normal, dimana ada saat ia akan merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Media massa telah mengajarkannya tentang pacaran atas nama cinta. Lakon sang pemuja cinta, begitu diagung-agungkan. Sehingga terbentuklah pola piker dalam kepalanya bahwa pacaran atas nama cinta tiada terlarang, bahkan berkorban untuk sang kekasih hati adalah suatu hal yang terpuji.

Hingga… datanglah hari, dimana awal kehancuran itu akan menimpanya. Ia berkenalan dengan seorang pemuda yang masih satu desa dengannya. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja. Namun kemudian berkembang menjadi hubungan yang sudah tidak baik lagi. Ia menerima tawaran sang pemuda untuk menjalin hubungan bernama pacaran dengannya.

Sang pemuda telah mencuri hatinya. Ia telah termakan rayuan gombal yang begitu manis. Siang malam hatinya dipenuhi dengan kerinduan akan bayangan seraut wajah sang pemuda pujaan hati. Ia telah terhanyut dalam arus asmara yang dirasakannya begitu indah dan romantis, persis seperti yang ia lihat di sinetron-sinetron.

Sang pemuda pun berusaha menunjukkan akan keseriusannya. Janji-janji manis ia lontarkan agar sang gadis semakin menggila mencintainya.
Namun, hubungan mesra mereka tak berlangsung lama. Hubungan asmara itu akhirnya tercium juga oleh sang petani, ayah sang gadis. Ayah sang gadis itu pun marah. Ia tak merestui hubungan putrinya dengan pemuda itu. Di mata sang ayah, pemuda itu bukanlah pemuda baik-baik yang pantas untuk mendampingi putrinya.

Sang gadis pun menjadi gelisah. Dadanya terasa sesak. Ia merasa sudah sangat mencintai pemuda itu dan tak mungkin sanggup untuk melepaskannya. Ia pun menjadi nekat. Ia berani berbohong kepada orang tuanya demi untuk mencuri-curi waktu menemui sang pemuda dengan sembunyi-sembunyi.
Di tempat yang sunyi, mereka memadu janji untuk tetap saling setia. Bahwa rintangan apa pun akan mereka hadapi bersama, termasuk rintangan yang datang dari kedua orang tua sang gadis itu sendiri.
Hilanglah rasa malu dari diri sang gadis. Ia telah lupa bahwa dirinya adalah makhluk berharga. Ia lupa bahwa ia memiliki kehormatan yang harus ia jaga sebagai seorang wanita, bahwa kehormatan itu sangat tidak layak ia jual murah hanya dengan kata “atas nama cinta”.

Suatu malam…
Malam yang bagi mereka berdua adalah momen yang harus dirayakan sebagai sepasang kekasih. Malam yang mereka kenal dari media massa sebagai malam kasih sayang, malam valentine. Yah, malam valentine pun telah merasuk ke desa-desa.

Malam itu, mereka mengikat janji untuk bertemu lagi di sawah, di sebuah pondok kecil di tengah sawah. Pemuda itu telah lebih dulu ada di sana menantinya. Tidak butuh waktu lama, gadis yang dinantikan pun muncul. Mereka begitu bahagia.

Bersama, mereka melepaskan kerinduan. Hingga akhirnya sang gadis pun menceritakan perihal ayahnya kepada sang pemuda. Ayahnya masih juga menentang hubungan mereka. Bahkan ayahnya semakin keras melarangnya. Sang gadis pun terlihat sangat sedih.

Pemuda itu mulai menghiburnya dan menenangkannya. Diraihnya tangan sang gadis, dan mereka saling bertatap mata. Pada saat itulah syetan menari-nari di antara mereka. Di bisikkannya kalimat-kalimat syahwat di telinga sang pemuda, hingga muncullah keinginan yang kuat dalam dirinya.
Pemuda itu pun tak mampu lagi membendung hasrat syahwatnya yang sudah sampai di ubun-ubun. Ia merayu gadis itu mati-matian. Namun gadis itu menolak, gadis itu tiba-tiba merasa cemas. Namun sayang, sudah terlambat ia menyadari semuanya. Tempat mereka sangat jauh dari perumahan penduduk.
Pemuda itu memaksanya, gadis itu meronta dan berteriak. Namun apalah daya tenaga wanita jika dibandingkan dengan lelaki, sedang tidak ada lagi manusia yang bisa mendengar teriakannya.

Hingga terjadilah perbuatan laknat itu… Perbuatan yang telah mencabik-cabik kehormatannya. Kehormatan yang seharusnya ia jaga dengan sepenuh jiwa dan raganya, yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada suami tercinta yang halal baginya.

Lelaki macam apa ini? Apakah pantas lelaki seperti ini dicintai? Yang merayu sedikit demi sedikit, meyakinkan hati agar ia menjadi tergila-gila kepadanya, sehingga ia bisa mengisap madu suci sang gadis tanpa rasa kasihan. Lelaki yang telah diperbudak oleh nafsunya dan tidak bisa mempergunakan akalnya.
Gadis itu hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Sedangkan sang pemuda menjadi bingung akan apa yang telah ia lakukan. Ia berusaha menenangkan sang gadis, namun gadis itu semakin menjadi. Ia menuntut pemuda itu untuk bertanggungjawab akan kekejian yang telah ia perbuat. Namun syetan tak hanya berhenti sampai di situ. Ia terus merasuki kepala sang pemuda, membuatnya kacau dan ketakutan akan dampak dari dosa yang baru saja ia perbuat.

Pikirannya kalap mendengar raungan-raungan sang gadis yang menuntutnya untuk bertanggungjawab. Sedangkan ia tak pernah memikirkan sebelumnya akan arti tanggung jawab. Hingga… ia menjadi kalap dan tak mampu lagi berpikir waras. Dibentaknya sang gadis dengan kasar agar ia segera diam. Namun gadis itu tetap saja menangis. Pemuda itu menjadi sangat kesal, dan tanpa pikir panjang lagi diraihnya leher sang gadis dan dicekiknya hingga mati…

Melihat mayat kekasihnya terkapar tak bernyawa lagi, pemuda itu menjadi panik, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia ketakutan dan lari meninggalkan gadis itu sendiri, di tengah sawah yang sunyi, di malam yang gulita, dengan noda yang hina, dengan su’ul khatimah (akhir yang buruk) yang menemani ajalnya dan dengn tawa riang sang syetan laknatullah ‘alaih.

Pemuda yang ia puja telah menipunya. Pemuda yang ia banggakan telah menodainya, pemuda yang selalu ia rindukan telah menyiksanya, pemuda yang telah menjadikannya anak durhaka kepada orang tuanya telah membunuhnya dan pemuda yang selama ini menyanjungnya dengan pujian indah, tega meninggalkannya sendiri dalam sunyi malam sebagai sosok mayat yang tak bernyawa lagi. Tanpa rasa kasihan. Di malam valentine, yang katanya malam kasih sayang, malam perayaan orang-orang kafir… na’udzubillahi mindzalik…
Saudariku…

Itukah bukti bahwa lelaki itu mencintainya? Sebesar itukah pengorbanan yang harus dipertaruhkan? Betapa kasihannya gadis itu. Betapa besar kehinaan yang harus ia bertanggung hanya karena kata-kata cinta palsu.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagimu? Bagaimana Allah dan Rasul-Nya begitu menyayangimu. Ia tak ingin engkau celaka. Karenanya, diturunkannya kepadamu aturan-aturan untuk menjagamu, bukan untuk mengikat dan mengekangmu.
Ia dan Rasul-Nya memerintahkanmu untuk menutup aurat agar engkau senantiasa anggun dan terjaga dari mata-mata serigala yang dipenuhi dengan bisikan-bisikan syetan. Diperintahkannya kepadamu untuk tetap tinggal di rumahmu, taat kepada ibu-bapakmu selama hal itu bukan karena maksiat kepada Allah, menjaga pandangan dan tidak berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahrammu. Tidak ikut-ikutan dengan budaya kaum kafir yang tidak bermanfaat.
Sudah luruhkah keyakinanmu bahwa Allah menciptakan manusia dengan jodohnya masing-masing? Tidakkah lebih baik jika engkau bersabar dalam penantian akan jodoh terbaik yang dipilihkan Allah untukmu?

Saudariku…

Jika lelaki yang mengaku mencintaimu itu benar-benar mencintaimu, ia tidak akan mungkin menghinakanmu. Ia akan menghargaimu dan tidak akan berbuat kurang ajar kepadamu. Ia akan berusaha mendapatkanmu dengan cara yang baik dan halal. Ia akan datang baik kepada kedua orang tuamu dan meminangmu, tidak dengan mengajarimu berbohong dan memancingmu keluar dari rumahmu, jauh dari pengawasan orang tuamu dan berdua-duaan dalam sepi.

Namun, lelaki baru akan menghormatimu jika engkau menghormati dirimu sendiri dan menjaga kehormatanmu sendiri dengan syari’at yang telah ditetapkan-Nya.

Lihatlah, betapa Allah ingin agar engkau terjaga, agar pintu-pintu yang bisa membawamu kepada kehancuran tetap tertutup rapat. Karena mencegah dan bersabar, itu lebih mudah daripada menanggung beban dan akibatnya. Wallahu a’lam.


Ditulis ulang dari buku “Karena Cinta Aku Murtad,” (Kumpulan kisah dan Inspirasi bertabur hikmah untuk melewati episode keremajaan kamu…) Karya Suherni Syamsul, Penerbit Gen Mirqat. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]