Buscar

Pages

السلام Pictures, Images and Photos

Part 1 : Cerpen Annida untuk Ibu di Surga

Oleh     : Auni Ra’eesah Hidayat

Ujung pagiku gerimis penuh tanda tanya. Matahari mulai menebar cahayanya di sudut-sudut desa. Pagi yang gelap perlahan-lahan menjadi terang. Aku baru saja selesai shalat subuh. Ini adalah kali ketiga aku terlambat shalat. Padahal ibuku selalu menasihatiku agar jangan menyepelekan waktu shalat subuh. Berarti ini adalah yang ketiga kalinya aku mengecewakan beliau.
Annida Qurrata’aini, itulah nama terbaik yang diberikan ibuku tercinta. Aku sangat senang menyandang nama ini. Sejarah pembuatan namaku pun begitu unik. Kata ibu, di saat beliau hamil, beliau suka sekali membaca majalah Annida bahkan berlangganan setiap kali terbit. Oleh karena itu nama depanku adalah Annida. Dan Qurrata’aini itu diambil dari bahasa arab yang berarti penyejuk mataku. Nama yang begitu indah kurasa. Mungkin karena itu pemberian dari ibu. Jadi aku merasa bangga. Tapi sayang, sekarang beliau sudah tiada. Meninggalkanku dan ayah sekitar satu tahun lamanya. Tidak ada lagi cerita pendek yang dibacakan ibu setiap kali aku ingin tidur dari usia balita hingga aku tamat SD. Tidak ada lagi ocehan ibu yang bersikeras menyuruhku mulai aku SMP sampai aku bersekolah di SMA, dan akhirnya beliau meninggal dunia akibat penyakit jantung yang diderita. Andai beliau bilang padaku tentang penyakitnya, aku tidak akan pernah menolak sedikit pun permintaannya. Tapi begitulah manusia, manusia akan merasa kehilangan jika sesuatu sudah tiada. Jika orang yang mencintainya pada akhirnya meninggalkannya. Sungguh hatiku terasa remuk redam disaat teringat kembali ocehan-ocehan beliau pada waktu itu.
“Nak.. ini ada pengumuman lagi di majalah Annida. Lomba menulis cerpen tentang remaja. Nah, temanya mudah. Lebih baik kamu coba dalam kesempatan kali ini. Bagaimana? Nanti ibu yang akan kirim lewat pos.”
“Nida malas Bu. Ribet. Lagi pula tidak akan menang, Bu.”
“Nak.. nak.. rezeki siapa yang tahu. Allah yang mengatur. Kita berusaha dan berdo’a saja. Kemudian serahkan semuanya pada Allah.”
“Ah ibu.. Nida bilang, Nida malas membuat cerpen. Tidak akan menang. Buang-buang waktu. Mending belajar untuk persiapan menghadapi ulangan semester.”
Aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Satu episode hidup yang sangat menyayat-nyayat batinku. Aku tidak tahu sampai kapan peristiwa terakhir aku menolak tawaran ibu itu akan terlupakan. Aku hanya bisa berharap, suatu saat aku bisa memenuhi permintaan ibu meski sekarang aku tidak bisa melihat senyum bibirnya saat menyaksikanku tampil sebagai juara di harian Annida.
Aku berhenti dari pengembaraan panjang memutar waktu ke masa lalu. Tak terasa air mataku meleleh pelan. Pipiku basah sebasah hatiku. Aku tak mau larut dalam kesedihan, kualihkan mata dan pikiran menuju jendela dunia. Di meja kecilku, ada buku yang berjudul “Melukis Pelangi” karya Oki Setiana Dewi, aktris sekaligus penulis yang digandrungi sebagian besar remaja putri, tak terkecuali aku. Kuraih buku itu dengan tangan kanan. Tangan kiriku mengusap lembut tangisku. Bagiku, Oki adalah sosok perempuan muda yang berkarakter dan berprinsip. Meskipun dia seorang aktris, dia masih bertahan dengan gaya dandanannya yang menutup aurat, selain itu aku juga menggebrak pola pikir para wanita modern sekarang ini melalui tulisannya yang sarat makna. Aku tersenyum kecut. Setiap kali aku melihat wajah Oki. Aku jadi teringat perbincangan kecil dari para tetangga. Kata mereka aku mirip dengan pemeran wanita Anna Althafunnisa di film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Entahlah. Yang penting mereka senang. Aku juga ikut senang.
Baris demi baris kubaca. Tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah pengharapan, harapan menjadi sesosok orang yang menginspirasi seperti yang diharapkan almarhumah ibuku tercinta. “Ya Allah.. Kau menciptakan makhluk yang begitu indah. Kau ciptakan dia dengan rupa yang cantik. Kau berikan dia anugerah berupa potensi menulis yang mumpuni. Kau berikan aku nikmat dengan rezeki yang berlimpah. Ya Rabb.. aku manusia yang lemah dan tak berdaya. Aku belum mampu menjadi Rabiatul Al Adawiyah yang kecintaannya terhadap-Mu melebihi kencitaannya terhadap apapun. Namun aku hanya ingin menjadi wanita yang berguna bagi agama dan umat muslim di dunia. Dan aku ingin membahagiakan ibu disana dengan memenuhi permintaannya. Ya Rabb, aku baru sadar bahwa ibu menginginkan yang terbaik untukku. Mungkin beliau mengharapkanku menjadi penulis yang menginspirasi. Kabulkanlah do’aku Ya Rabb.” Pintaku. Sesak.
***
Tepat pukul 07.30 bel berbunyi. Siswa-siswi berbaris di halaman sekolah untuk melaksanakan upacara bendera setiap senin pagi. Seusai pelaksanaan, aku menyempatkan diri untuk melihat pengumuman di mading sekolah. Disana tertulois bahwa ada lomba penulisan cerpen dan komik tingkat umum. Aku senang sekali. Kurasa ini adalah jawaban dari Allah atas do’aku. Tapi sayang, ada tulisan “Hanya untuk kelas X dan XI.”
Di dalam kelas, pikiranku tidak karuan. Aku masih saja kepikiran tentang lomba cerpen dan komik di annida-online. Karena itu, kuputuskan untuk meminta bantuan pada bagian konseling. Di ruang konseling, aku menyampaikan maksud dan tujuanku pada guru konseling yang bersangkutan, yakni Bu Indah.
“Maaf ya bu kalau kehadiran saya tidak tepat waktu atau mengganggu ibu.” Ucapku sungkan.
“Tidak apa-apa. Justru ibu sangat senang karena ada yang ingin konsultasi dengan ibu. Mm.. ada apa Nid? Ada masalah?” Jawab bu Indah ramah.
“Begini Bu, mengenai pengumuman tentang adanya lomba cerpen dan komik yang diselenggarakan Annida di mading itu, sebenarnya saya ingin sekali ikut tapi pihak sekolah tidak memberikan ruang untuk kelas XII. Menurut ibu apa yang seharusnya saya lakukan?” Aku semakin malu dengan Bu Indah.
“Iya ibu mengerti, tetapi mungkin pihak sekolah menginginkan yang terbaik untuk peserta didik. Kan kamu tahu, tiga hari lagi kelas XII akan menghadapi ujian. Kalau seandainya kamu ikut lomba, apakah tidak akan mengganggu konsentrasi belajarmu?” Bu Indah tampak memberikan pengertian padaku. Terlihat dari kalimat beliau yang lembut bahwa beliau menginginkan agar aku mengurungkan niatku.
“Insya Allah tidak, Bu.” Aku tetap bersikeras. Aku merasa ini adalah kesempatan. Mumpung pihak sekolah memfasilitasi registrasi dan pengiriman.
“Nid. Ibu lihat kamu memang ingin sekali berpartisipasi. Tapi bukankah setelah ujian nanti ada lomba-lomba yang lain. Misal, lomba menulis cerpen Annida lain waktu yang bisa kamu ikuti. Jadi kamu tidak perlu khawatir, masih banyak waktu dan tempat untuk mengukir prestasi?” Bu Indah berusaha meyakinkan. Tapi aku tetap merasa ingin ikut. Karena tema kali ini adalah tentang impian. Aku merasa mudah menuangkan inspirasi jika temanya sesuai dengan keinginanku. Dan kapan lagi ada lomba di Annida yang menyelenggarakan lomba cerpen dengan tema yang seperti ini.
“Tapi Bu, “ tiiit tiiit bel berbunyi tanda masuk kelas. “Emm terima kasih atas waktunya ya Bu, saya pamit dulu.” Pintaku sembari menyalami tangan beliau.
“Iya, nanti ibu coba bicarakan dengan pihak kesiswaan yang menanganai masalah lomba. Kalau memang rezekimu, Insya Allah ada jalannya.” Bu Indah berusaha menenagkan hatiku. Beliau usap-usap pundakku. Pelan.
Langkahku gontai menuju kelas. Aku merasa hilang harapan untuk ikut lomba. Keputusan sekolah mungkin sudah akhir, tidak dapat diganggu gugat. Pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko atas kegagalanku dalam ujian disebabkan oleh obsesi mengikuti lomba. Memang seharusnya begitu, aku mencoba untuk mengerti. Aku berpikir sejenak, terbersit rencana untuk mengurus registrasi dan pengiriman lomba itu sendiri. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kenyataannya begitu pahit. Disana tertulis, biaya registrasi sebesar Rp. 50.000 yang harus ditransfer ke nomor rekening yang tertera di papan pengumuman itu. Jumlah registrasi itu setara dengan uang jajanku selama setengah bulan. Jika aku nekat, maka aku harus ekstra hemat untuk bertahan hidup. Dan itu tidak masalah bagiku..
Pulang dari sekolah, aku bergegas menuju rumah. Di halaman rumah, Ayah tampak sibuk membersihkan sepeda ontel. Hatiku lagi-lagi teriris. Semenjak kepergian ibu. Hidupku dan ayah semakin susah. Dulu, ibu yang bekerja karena ayah terkena struke. Sampai sekarang pun ayah masih tidak bisa bekerja untuk pekerjaan berat karena diharuskan untuk istirahat yang cukup. Hal itu semakin membuat semangatku berkobar untuk ikut lomba. Selain bisa memenuhi permintan ibu, aku juga bisa memberikan sedikit sesuatu untuk ayah nantinya, hasil dari keringatku sendiri. Aku berhenti menghayal. Kulepas sepatu kemudian sesegeranya menuju ke kamar. Membuka buku bekas, lalu cepat-cepat menulis kerangka cerpen yang akan dibuat. Tiba-tiba Ayah memanggilku. Aku segera beranjak menuju halaman. Di halaman, ayah mengelap sepeda ontelnya sambil sesekali melihatku dengan wajah datar.
“Ada apa ayah?” Tanyaku sedikit takut.
“Masuk rumah kok tidak mengucap salam dulu? Tidak ingin dido’akan keselamatan oleh para malaikat?” Ayah bertanya sambil menyindir. Beliau tersenyum kecil. Sebab sejak kecil, aku selalu diajari untuk mengucapkan salam ketika masuk rumah meskipun di dalam rumah tidak ada orang.
“Kamu kan bukan anak kecil lagi, Nak. Sudah 18 tahun. Masak masih diperingati?”
“Astaghfirullahaladzim, Nida lupa, Yah.” aku merasa sangat malu pada ayah. Kutundukkan kepala. Aku takut sekali sampai ayah marah. Karena yang kumiliki sekarang hanyalah ayah. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang kedua kalinya. Seperti aku selalu membantah keinginan ibu.
“Memang ada apa? Ayo cerita sama ayah.” Tanya ayah sembari membersihkan tangannya dengan air yang ada di ember.
“Nida ingin ikut lomba cerpen, ayah. Besok batas akhir pengiriman. Jadi malam ini sudah harus selesai mentahnya. Baru nanti Nida ketik besok harinya di rental computer. Mumpung libur penyegaran otak selama tiga hari sebelum ujian nasional.”
“Lha. Mau ujian kok malah ikut lomba?” Ayah bingung.
“Hmm.. ayah, Nida kan bukan murid yang suka belajar sistem kebut semalam. Hhee.. Insya Allah segala amunisi untuk ujian sudah dipersiapkan. Sekarang hanya penyegaran otak saja, ayah.” Aku tersenyum kecut. Aku yakin ayah pasti akan mendukung apa yang kulakukan. Sejauh itu bukan hal keburukan.
“Ya baguslah kalau begitu. Oya, besok ayah mau ke rumah Pak Budi. Jadi mengirim naskahnya ke pos sama ayah saja.”
“Naskahnya tidak dikirim lewat pos. Tapi lewat internet, ayah. Go green gituu.. hhee.”
“Walah, ayah tidak mengerti internet-internetan. Ya sudah, ayah pergi dulu. Jaga rumah.”
“Iya yah.” Sahutku sembari beranjak menuju kamar.
Aku berusaha membuat kerangka karangan dengan semenarik mungkin. Kuputar otak hingga dahiku mengerut. Sekujur wajahku bermandikan peluh. Setelah berjam-jam menulis, akhirnya didapatlah sebuah cerpen yang berjudul “Cerpen Annida untuk Ibu di Surga.”
Besok harinya, aku berangkat ke warung internet dengan hati yang berbunga-bunga. Meskipun harus berjalan kaki sejauh 2 km, itu tak membuat surut keinginanku untuk bisa ikut sebagai peserta lomba. Aku merasa yakin cerpen ini akan masuk dalam kategori 3 besar.
Sudah hampir satu jam aku menghabiskan waktu di warnet. Alhamdulillah, akhirnya kelar juga. Kubuka situs Annida-online. Siap kukirim. Tetapi aku seperti melupakan sesuatu. Ya, biaya registrasi belum kusetor ke Bank. Aku tidak bisa mengirim kalau belum mendapat balasan email dari Annida-online. Kulihat ke luar. Bank Syariah Mandiri masih buka. Dengan cepat aku beranjak keluar untuk mengirimkan biaya registrasi secepatnya. Namun si penjaga warnet menyapaku, “Dik. Apa tidak ingin dimatikan dulu komputernya? Biayanya masih jalan lho.”
“Tidak apa-apa kak. Nanti keburu orang yang menempati. Soalnya saya mau memakainya lagi nantinya.”
“Iya deh. Oya memang ada apa? Kok buru-buru sekali?” Tanya si penjaga warnet sambil memberikan kembalian kepada seorang anak yang berusia 7 tahunan.
“Iya nih kak saya memang sedang buru-buru. Takut Bank di seberang tutup. Soalnya hari ini batas akhir pengiriman lomba cerpen yang ingin saya ikuti. Saya pamit dulu ya kak.”
Aku keluar dari warnet tanpa menengok ke kanan dan ke kiri. Naas, motor nakal berkecepatan tinggi menyerempetku di tikungan jalan.
***
Aku siuman. Aku tergeletak di kamarku. Di sekelilingku tampak ayah dan beberapa teman sekelasku. Aku teringat lomba cerpen yang akan kukirim. Aku minta izin pada ayah untuk pergi ke Bank dalam keadaan tangan dan pelipisku yang masih diperban dan kepalaku juga masih terasa sedikit sakit. Tapi ayah tidak mengizinkanku.
“Inilah akibatnya terlalu keras kepala.” Kata ayah, sedikit marah.
“Tapi yah, bagaimana dengan cerpen Nida?” Aku sangat sedih karena ayah tidak mengizinkanku.
“Cerpen melulu yang dipikirkan. Kesehatanmu yang dipikirkan terlebih dahulu.” Ayah semakin marah.
“Insya Allah.” Balasku pelan. Aku takut ayah akan lebih marah lagi. Aku tidak habis pikiran kejadiannya sampai seperti ini. Aku sudah mengusahakan sekuat tenaga dan pikiranku. Meskipun aku bersikeras ingin mengirimkannya. Toh hari sudah petang, tidak aka nada Bank yang buka jam segini. Aku pasrah. Aku tidak ingin lagi memikirkan lomba cerpen itu. Dan aku juga menjadi sadar bahwa aku terlalu keras kepala. Benar kata ayah.
***
Ujian sudah ditempuh. Satu bulan telah berlalu begitu saja. Jujur, aku masih teringat tentang lomba cerpen yang aku bela mati-matian sebulan yang lalu. Andai cerpennya kukirim. Bagaimana hasilnya?
Hari ini tepat berkenaan dengan hasil lomba diumumkan. Aku masih asja teringat lomba itu. Pikiranku kualihkan. Tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat.
“Assalamu’alaikum..” Suara lembut dari seorang wanita di seberang sana.
“Wa’alaikum salam warahmatullah..” Sahutku datar.
“Kami dari redaksi Annida. Selamat, Anda sudah memenangkan lomba penulisan cerpen Annida tahun ini dengan cerpen anda yang berjudul “Cerpen Annida untuk Ibu di Surga.” Anda berhasil sebagai pemenang utama. Hadiah, bingkisan dan piagam penghargaan akan kami kirim secepatnya.”
Klik.. ponselku mati. Aku langsung sujud syukur. Aku tidak peduli siapa yang mengirimkan naskah cerpen itu. Aku senang sekali. Siapapun dia. Aku berterima kasih padanya. Usahaku tidak sia-sia. Allah telah mengabulkan permintaanku. Allah memang Maha Adil.
Aku merasa senang sekali. Aku tidak menyangka alur yang digariskan Allah seperti ini. Aku menjadi sangat yakin bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil, dan hasil yang terbaik tergantung bagaimana usaha seseorang itu dalam menggapai suatu tujuan. Serta jangan pernah berhenti untuk menuliskan impian meskipun dalam kertas buram. Di kala seseorang masih mempunyai impian berarti dia masih mempunyai peluang keberhasilan.
“Bu.. ini adalah cerpen Annida untuk Ibu di Surga. Dan untuk si pengirim itu, siapa kah kau sesungguhnya? Penjaga warnet kah? Entah lah.”
----------------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar