Buscar

Pages

السلام Pictures, Images and Photos

Semburat Senyuman


            Matahari menarik dirinya kembali ke ufuk barat, meredupkan nyala silaunya, meneduhkan mata. Aku duduk di tepi pembaringan, mengingat dan berusaha tenggelam dalam lamunan masa silam.
            “Gendut, ayo cepat bangun, udah azan tuh,” panggil ayahku.
“Ng… nanti Yah, sebentar lagi. Fifah masih ngantuk,” sahutku pelan sambil menarik selimut yang berusaha ditarik ayah.
“Sudah waktunya sholat nak, ayo bangun.”
Tiba-tiba tubuhku diangkat, dan digendong ayah menuju kamar mandi. Dipercikannya air ke wajahku, sambil membaca ta’awwuz dan basmallah beberapa kali.
“Dingin Yah, Fifah gak suka air dingin,” kataku sambil mengusap wajah yang basah.
“Biar ngantuknya ilang, hehe,” sahut ayah.
            Aku masih ingat, pertama kali ayah begitu saat aku berumur 7 tahun, ketika aku sudah kelas 1 madrasah ibtidayah. Ibu hanya tertawa saat ayah melakukan aksi uniknya untuk membangunkanku itu. Ayah memang cerdas, dia mempunyai banyak cara agar aku mau bangun pagi.
Ayah memang senang sekali memanggilku dengan sebutan 'gendut'. Kata ibu itu adalah panggilan kesayangan ayah untuk putri kecilnya. Yah, dulu aku memang gendut, mukaku bulat, dan menggemaskan.
            Kadang-kadang aku jengkel juga sama ayah. Aku masih kecil, sudah disuruh sholat tepat waktu. Saat masih enak-enak tidur, dibangunin. Aku hanya bisa mengeluh pada ibu. Namun, Ibu selalu bilang, bahwa Ayah ingin membiasakan anak-anaknya untuk bangun pagi dan tepat waktu kalau sudah masuk waktu sholat.
            Namaku Afifah, anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku laki-laki, yang umurnya terpaut jauh dariku, Raihan namanya. Saat aku berumur 10 tahun, kakakku menikah dan tinggal di luar kota bersama istrinya. Walau demikian, kakakku masih senang menghubungi ayah, ibu dan adiknya ini. Dia sering berkunjung kerumah saat ada cuti kerja atau saat akhir pekan tiba dan menghabiskan waktu bersama kami. Kakakku seorang dosen Fakultas Tarbiyah di salah satu Institut Agama Islam Negeri di kota tempat ia tinggal. Istrinya yg sholehah nan cantik itu patut berbahagia bisa menikah dengan kakakku, karena kematangan ilmu agama yang dimilikinya.
            Aku sangat menyayangi kakakku, setiap dia berkunjung ke rumah, aku selalu dimanjakannya, dibelikannya mainan dan makanan kesukaan. Sering pula Aku menceritakan padanya tentang tingkah polah ayah padaku. Namun, kakak yang sering kupanggil dengan sebutan ‘mas’ itu hanya tertawa mendengarnya dan menimpali, “Dek, tau nggak, kata ibu dulu sejak umur mas masih 2 tahun, ayah sudah sering mengajak mas ke mesjid. Jika mas masih tidur, ayah juga sering menggendong mas lalu memercikkan wajah mas sambil membaca doa-doa. Mas juga pernah jengkel sama ayah, karena mas juga tidak suka air dingin pagi hari. Naah, karena takutnya itulah mas kapok untuk telat bangun lagi, karena nanti wajah mas bakal dicipratin air lagi sama ayah.
Dek, Ayah itu keren loh, sering jadi imam di mushola atau mesjid. Ayah juga punya suara yang merdu, sehingga ayah juga sering mengumandangkan azan. Saat umur mas 10 tahun, mas ingin sekali seperti ayah, menjadi imam dan mengumandangkan azan. Namun, permintaan untuk menjadi imam ayah tolak, hehe, ya jelas, kan mas masih kecil. Hehe.
Nah, mas mulai diajarin azan tuh sama ayah, terus ngecobanya waktu udah bisa di mushola setiap subuh. Subhanallah, nggak tau kenapa setiap subuh warga banyak yang datang untuk sholat berjama’ah, padahal sebelum mas yang azan, mereka jarang sekali sholat berjama’ah di mushola, mas pikir mereka cuma penasaran sama siapa yang jadi mu’azinnya, atau mungkin karena suara mas yang masih cempreng bikin sakit telinga mereka lalu pengen ngejewer mas di mushola biar gak ganggu tidur mereka lagi. Eh ternyata mas salah.
Kata ayah, mereka malu sama mas. Mas yang dari kecil ini aja udah sering sholat berjama’ah subuh, sedang mereka yang sudah pada gede dan tua-tua malas, hhoo.”
Panjang lebar kakak menjelaskan masa kecilnya, aku hanya bisa mangut-mangut, pura-pura memahami. Aku memang susah sekali memahami apa yang kakak bicarakan, karena kakak tipikal orang yang bicaranya cepat. Nggak ada titik koma.
***
Usiaku terus bertambah, tak ada perubahan sama sekali dari ayah. Dia tetap cerewet, selalu mengingatkanku untuk sholat tepat waktu, ditambah makin banyak ceramahnya tentang agama yang kata ibu buat bekalku di akhirat nanti.
Lulus dari madrasah ibtidayah, ayah memasukkanku ke madrasah tsanawiyah. Entah kenapa, ayah enggan untuk memasukkanku ke SMP atau sekolah umum lainnya, dia selalu bilang kalau aku harus mematangkan ilmu agama dulu di dunia. Kebetulan, aku bersekolah di MTs Negeri tempat ayah diamanahi sebagai pendidik dengan mata ajar Aqidah Akhlaq. Yah, walau cuma sebagai guru honor, bukan PNS, dan gajinya tidak seberapa, ayah tetap semangat bekerja dan rajin bersedekah. Guru-guru disekolah sangat menghormatinya karena kesantunan kepribadiannya. Ayahku juga bukan tipikal guru yang membosankan pada saat mengajar. Dia selalu membuat guyonan renyah sehingga seluruh murid selalu sakit perut dibuatnya karena sering tertawa.
Sedang ibuku hanya seorang penjual nasi uduk. Dia sering bangun subuh sekali untuk mempersiapkan dagangannya. Ibuku yang selalu menyempatkan tahajjud itu tak pernah mengeluh akan pekerjaannya, dia selalu bilang ini buat tambahan penghasilan keluarga.
            Ayah sering bilang pada kami,”Nak, jika kita kaya, kita memang bisa membeli segalanya, namun apakah menjanjikan kita bisa membeli pahala dan surga-Nya? Banyak orang yang berdalih kalau orang kaya itu sangat mudah untuk beramal, namun apakah menjanjikan amalnya diterima oleh Allah? Tidak nak.
Nak, kelebihan orang yang tidak berharta atas orang yang berharta adalah sifat zuhud, sabar dan rasa syukurnya. Zuhud adalah sifat yang meninggalkan keduniawian. Dia hanya berpikir beramal untuk bekal akhiratnya. Seperti Rasulullah, kezuhudannya memang tiada diragukan lagi. Pernahkah kita mendengar cerita kalau beliau mempunyai harta yang banyak lalu cuma disimpannya saja? Pernahkah kita mendengar kalau rumah Rasulullah itu besar dan megah? Padahal beliau adalah raja bagi segala raja di bumi, dialah utusan Allah, manusia yang paling mulia di jagat raya. Bayangkanlah nak, betapa Rasulullah itu hidup dengan penuh kesederhanaan, yang dia butuhkan hanya Allah semata.
            Selanjutnya sabar. Kunci menghadapi ujian agar tak terasa menyakitkan adalah sabar. Nak, Allah pernah berfirman di Al-Qur’an yang mulia, bahwasanya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Betapa tinggi derajat sesorang, ketika Allah sudah bersamanya. Tidakkah kita mau? Allah itu Maha Adil, dia memberikan ujian kepada kita sesuai kemampuan kita. Jika kita mampu melewatinya, insyaAllah pahala berlipat ganda dan surgalah sebaik-baik tempat kembali.
            Terakhir adalah rasa syukur. Rasa syukur akan menambah kenikmatan kepada kita. Mensyukuri nikmat Allah yang jika berupa harta, adalah bukan untuk menyimpannya dan pelit terhadapnya. Sedehkahkan. Karena itu hanyalah titipan Allah, dan mungkin saja ada hak orang lain disana. Bersedekah bisa menyucikan harta, membersihkan hati, dan menentramkan jiwa. Dengan bersedekah, tak akan membuat kita miskin. Bahkan Allah akan menggantinya dengan 10 kali lipat. Subhanallah..”
***
            Tahun demi tahun berlalu, aku sudah beranjak remaja. Tubuhku tidak lagi gendut seperti dulu, aku marah dan membentak ayah jika dia terus memanggilku gendut. Namun, ayah lekas faham dan berkata dengan senyum tersungging di bibirnya,” iya, ayah ga akan panggil anak ayah gendut lagi.”
            Ayah tidak pernah memaksaku untuk masuk pesantren seperti kak Raihan, namun dia melarangku untuk sekolah yang tidak berbasiskan agama.
“Yah, aku ga mau ke madrasah lagi, aku capek Yah, banyak pelajaran agamanya dan bosan kalau harus terus ngafal Qur’an sama hadits.”
Ayahku kaget dan tak kusangka ayah sangat marah mendengar ucapanku, “Apa-apaan kamu ini! Jangan pernah mengatakan kalau kamu bosan belajar agama. Belajar agama itu hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Lihat masmu, sejak lulus dari madrasah ibtidayah dia sudah masuk pesantren, kamu taukan pesantren itu lebih berat dari sekedar sekolah agama biasa untuk anak sekecil dia! Tapi masmu gak pernah bosan tuh belajar agama!”
Suaranya yang lantang dan tegas itu hampir membuat jantungku copot, aku takut bercampur malu. Sebelumnya ayah tak pernah memarahiku seperti ini. Aku merajuk, masuk kamar lalu membanting pintu. Ayahku yang kemudian sadar telah marah itu langsung mengetuk pintu dan berusaha meminta maaf padaku. “Huh, memangnya hanya dia yang bisa marah,” tegasku dalam hati.
            Seminggu lebih aku enggan menyapa ayahku, walau sekedar tersenyum aku malas. Aku masih terbayang saat bagaimana marahnya ayah. Hanya ayah yang selalu berusaha mencairkan suasana, ibuku sudah sering menasihati aku, namun aku tak peduli. “Aku benci ayah.”
            Tetapi pada akhirnya, aku memang bersekolah di madrasah aliyah. Aku menjalaninya seperti biasa, belajar jika aku mau, tidak jika aku bosan. Namun siapa sangka, Allah berkata lain. Aku selalu memperoleh peringkat 1 dikelas hingga kelulusanku. Aku lulus dengan predikat nilai Ujian tertinggi se-provinsi. Aku mendapat beasiswa 75 juta untuk meneruskan kuliah. Ayah dan ibuku bangga, dan terus menerus mengucap puji-pujian pada Allah. Seiring waktu itupun, kebencianku pada ayah mulai padam.
            Aku pernah berucap pada ayah dan ibuku, bahwa aku ingin kuliah di fakultas kedokteran. Wajah ibu terlihat keberatan, mungkin karena biaya kuliah yang terbilang sangat mahal. Namun, ayahku berbeda, dia menepuk pundakku dan berkata, “Nak turuti impianmu, jadilah seorang dokter, kami akan berusaha membantumu.” Itulah jawaban ayah yang membuatku sumringah. Ibuku yang mula-mula terlihat ragu, akhirnya luluh juga oleh ayah, dan mulai ikut mendukungku.
            Aku ingin kuliah di luar kota, di salah satu universitas negeri yang telah lama menjadi impianku. Jarak dari rumah kesana sekitar 100 km, lumayan jauh. Pendaftaran bisa dilakukan secara online. Saat itu aku hanya mempunyai komputer tua milik ayahku, dengan modem yang kubeli seharga lima ratus ribu akhirnya aku bisa mengaktifkan internet di rumah.
***
Ujian tertulis telah terlewati, kini saatnya pengumuman tiba. Ayahkulah yang sering mengantarku saat hendak ujian dan kini untuk melihat pengumuman.
Sesampainya di tempat pengumuman, bergegas aku yang diiringi ayahku mencari tempelan kertas hasil ujian tersebut. Dada ini sesak, entah bagaimana air mata tiba-tiba jatuh dari mata ayah. Aku ‘LULUS’. Bahagia yang tersirat itu diaplikasikannya dengan melakukan sujud syukur ditempat. Orang-orang disekelilingku terpana, ada yang tertawa kecil dan ada yang saling berbisik. Aku malu sekali, dan berusaha menutupi wajah dengan kerudungku. Belum selesai sujud dan mengucap puji-pujian langsung ku tarik tangan ayahku, tanpa menghiraukan kaki ayah yang tersandung dan jeritannya, aku memintanya untuk segera pulang.
”Ayah gimana sih, sujud syukur ditengah orang banyak kayak gitu, malu yah diliatin orang, nanti orang nganggap ayah sama fifah ini alay!” omelku pada ayah.
“Hehe, maaf nak, ayah sudah tidak bisa lagi menahan syukur pada Allah, akhirnya anak ayah bisa kuliah dikedokteran,” balas ayahku tenang yang selalu dihiasi senyuman.
“Tapikan Yah, bisa dilakukan di rumah atau nanti bisa singgah di mushola atau mesjid,” sahutku kesal. Ayah hanya meminta maaf padaku, “ayah ini memang sering buat jengkel,” ucapku dalam hati.
***
            Dingin yang merasuk dari ubun-ubun sampai anggota ekstremitas bawah tubuhku, tak menjadi halangan melakukan perjalanan subuh itu. Mengejar target jam 8 sudah tiba untuk tes kesehatan, ayah berkorban tenaga lagi untuk mengantarku dengan motornya.
Jam 4 subuh, yang kulihat hanya kegelapan dan sinar lampu jalan yang redup. Suara azan belum berkumandang, yang terdengar hanya beberapa suara jangkrik, ayahku melaju pelan. Beberapa kali ayah menanyakan keadaanku, apa aku baik-baik saja, apa aku kedinginan. Aku menjawab iya. Ayahku yang saat itu mengenakan jaket tebal, singgah ke tepi jalan, di lepasnya jaketnya, dan diberikan padaku untuk memakainya. Aku yang tak ragu langsung menerimanya, tanpa memikirkan keadaannya.
            “Allahu akbar, Allahu akbar…” Tak lama terdengar sahut-sahutan suara azan dari para mu’azzin.  Memanggil para muslim dan muslimah untuk menghadap-Nya. Aku dan ayah singgah di masjid untuk ikut sholat berjama’ah. Selesai sholat, ayahku melaju lagi. Tepat ditengah perjalanan, embun pagi sudah membasahi mengikuti burung-burung yang bernyanyi. Aku menikmati segarnya udara pagi. ‘Brruk!’ Tanpa sadar aku sudah terhempas ke jalan. Kami kecelakaan. Ayahku bangkit untuk membantuku berdiri, tanpa memperdulikan motor yang masih menindih lantai jalan.
“Nak, apa kau baik-baik saja, apa ada yang sakit atau luka?” terlihat saat itu wajah ayah yang begitu khawatir akan keadaanku, untungnya keadaanku tidak terlalu parah, dilindungi jaket tebal milik ayahku, tak ada goresan luka siku, hanya lecet di telapak tangan yang sewaktu jatuh menindih kerikil-kerikil aspal. Lututku terasa sakit, namun karena tertutup kain jeans celana panjang, aku tak tau apakah ada luka atau tidak.
            Tetapi, keadaan ayahku lebih parah. Sikutnya yang luka itu kotor karena kerikil-kerikil pasir kecil, berdarah. Celananya robek dan terlihatlah luka menganga di lututnya. Namun ayahku terlihat baik-baik saja, sehingga aku tak terlalu memperdulikannya.
            Warga yang kaget dengan kejadian itu, langsung berdatangan dan membantu untuk mendirikan motor ayah yang masih mencium aspal. Kecelakaan itu terjadi karena ada oli yang berceceran di tengah jalan. Salah seorang warga sempat menyumpah pada orang jahil yang mencecerkan oli tersebut, namun ayahku hanya berkata, “ tidak apa-apa Pak, mungkin dia tidak sengaja. Yang penting kami selamat, dan tolong secepatnya oli ini dibersihkan agar tak membahayakan  pengendara yang lain.” Senyum ayahku seakan menyihir bapak-bapak paruh baya itu, dan seyogyanya sang pemimpin dia menyeru warga lain agar segera ikut membantu membersihkan oli tersebut.
            Setelah membaca doa, kami berangkat lagi menuju tujuan. “Nak, andai saja ayah tadi lebih hati-hati mungkin kita tidak akan tertimpa musibah ini, maafkan ayah ya,” sesal ayah. Aku hanya diam mendengarkan, seolah aku memang membenarkan kesalahan beliau.
            Kami sampai tepat waktu, ayah izin untuk pergi kesuatu surau untuk membersihkan lukanya dan sholat dhuha. Ayah berpesan agar mengirim sms atau menelponnya ketika tes sudah selesai. Aku hanya mengangguk dan segera meninggalkannya tanpa menoleh kepadanya.
            Selesai tes, aku berpikir untuk mencari makan sebentar, dan menghubungi ayah jika telah selesai makan. Aku berjalan, sambil bertanya pada orang tempat makan yang enak. Sesampainya di tempat makan, aku pesan nasi goreng ayam dan secangkir es jeruk.
“Alhamdulillah,” bisikku pelan seraya mengusapkan tisu disekitar mulutku.
Sehabis makan dan membayar, aku berencana kembali ke tempat tes dan menghubungi ayah untuk menjemputku. Namun apa yang terjadi, aku lupa jalan kembali. Aku berusaha menanyakan jalan pulang pada warga sekitar, namun yang terjadi hanyalah keliling-keliling tiada arti. Aku panik, dan langsung menelpon ayah bahwa aku tersesat di jalan yang aku sebutkan. Sekitar 45 menit aku menunggu, barulah ayah menemukanku, aku sebal padanya. Aku sudah kepanasan menunggunya dipinggir jalan. Ayah hanya minta maaf, dan berusaha menyembunyikan matanya yang merah. “Ah, mungkin hanya kelilipan,” pikirku.
***
            Kembali aku diingatkan ketika aku lulus kuliah sebagai sarjana kedokteran. Betapa bangganya ayah, ibu, dan kakakku atas prestasi yang kembali kuraih sebagai nilai IPK tertinggi 1. Mata tajam meyakinkan hati, apakah 2 orang yang sedang bersujud di sisi tempat duduk itu adalah ayah dan ibuku? Dan benar, tak diragukan lagi, kakakku yang terlihat garuk-garuk kepala hanya terlihat kebingungan. Yah, itulah kali kedua ayah melakukannya didepan umum. Ayah memang tak pernah peduli keadaan sekitar dan apa kata orang, jika ia ingin bersyukur ya sujud. Pemandangan unik itu ternyata menyihir para orang tua yang anaknya juga mendapat prestasi. Tanpa tanggung-tanggung merekapun turut bersujud. Rohaniawan Islam yang pada saat itu berhadir, hanya tersenyum bangga dan seolah menunjukkan inilah hamba Allah yang rendah diri dan selalu bersyukur dimanapun ia berada. Saat itu hatikupun luluh, kututup mata ini seraya mengucap puji-pujian padaNya.
            Suara kakakku yang khas saat terlihat panik membuatku menajamkan mata lagi dengan apa yang terjadi. Tak disangka dan secara tiba-tiba ayahku pingsan sambil memegangi dadanya. Aku kaget, tanpa pikir panjang aku hampiri dia. Secepatnya dia dilarikan ke Rumah Sakit, acara yudisium ditunda sebentar.
Sesampainya dirumah sakit, dokter hanya berkata Ayah sudah diambang batasnya, dia divonis gagal jantung, namun karena terlambat pengobatan, penyakitnya sudah terminal dan kemungkinan kecil untuk bisa bertahan. Aku terdiam, mataku perih menahan tangis.
Kami menemui ayah, yang sudah sadarkan diri, namun nafasnya belum stabil. Air mata yang berusaha ku tahan, jatuh juga. Ayah mengisyaratkan agar aku mendekat, lalu membisikkan kata-kata terakhirnya untukku,” Tersenyumlah pada ayah untuk terakhir kali, ayah tak ingin pergi melihat air matamu.” Tangisku makin menjadi, kupegang erat tangannya, “ iya yah, aku tersenyum kok. Maafkan aku ayah.. maafkan aku..” balasku lirih. Ayah hanya mengangguk, namun nafasnya kembali tersengal. Kakak yang dari tadi berusaha tegar, langsung mendekat dan membisikkan kata-kata thayyib. Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya dengan 2 kalimat syahadat pada umur 67 tahun.
Tak bisa ku tahan lagi, aku menjerit histeris. Ibuku yang memeluk istri kakakku tak kuasa menahan sedih. Kakakku tetap tegar, namun terlihat jelas matanya merah menahat air. Dan kemudian, aku sudah tak sadarkan diri, aku berharap saat itu Allah juga mencabut nyawaku. Karena aku ingin bersama ayah, aku ingin bersamanya.
Terbangun dari pingsanku yang cukup lama, aku sudah berada dirumah. Gemuruh doa dan yasin terdengar dari kamar. Ternyata kabar kepergian ayah sudah tersiarkan bak angin yang melaju tanpa alang rintang. Aku mencoba berdiri, dan keluar. Terlihat jasad ayahku yang ditutup kain. Aku mendekat, kubuka kain yang menutup wajahnya, lalu kucium keningnya. Wajahnya kuning, dan terlihat seakan dia tersenyum padaku. Tangisku pecah lagi, namun tak sehisteris yang lalu. Kini, tak ada lagi ayah yang menemaniku, seakan dia berkata tugasnya sudah selesai.
***
Minggu pagi, gerimis mengguyur alam. Ku lihat ruang kerja ayah yang kini telah kusam dan berdebu, niat hati ingin membersihkannya. Tak sengaja aku menemukan sebuah buku diary. “Apakah ini punya ayah?” gumamku pelan. Ku buka helai demi helai buku itu, cerita tentang kisah cinta ayah dan ibu, foto-foto ayah, ibu, kakak, dan aku yang masih berumur 3 bulan. Tiba-tiba mataku berhenti pada beberapa helaian lembar terakhir. Disana tertulis ‘Anakku Afifah’. Jantungku berdegup kencang, ku baca perlahan sampai lembar terakhir. Tak kusangka itu curhatan hati ayah yang telah disembunyikannya selama bertahun-tahun.
Untuk Anakku Afifah..
Sejak umur 7 tahun, ayah ingin membiasakanmu bangun pagi, agar sehat badanmu, tentram hatimu dengan melaksanakan sholat subuh tepat waktu. Ayah senang menggodamu dengan memercikan air pada wajahmu, ayah bacakan doa-doa dari ayat suci, agar setan yang menindih matamu segera pergi. Ayah ingin mendengar tawa kecilmu, namun yang ayah dapatkan hanya keluhanmu.
Afifah anakku. Saat kamu mulai remaja, tubuhmu tidak gendut lagi. Namun ayah tetap ingin bercanda denganmu, dengan memanggilmu gendut. Tapi, kamu terlihat tidak suka akan candaan ayah, maafkan ayah, jika ayah bercanda terlalu berlebihan.
            Afifah anakku sayang. Saat kamu bilang bosan belajar agama, ayah sangat marah. Ayah tak sadar pada saat itu langsung membentakmu. Ayah tak sadar bentakan ayah membuatmu merajuk dan membenci ayah. Pada saat itu, ayah berjanji tidak akan pernah marah lagi. Ayah tak ingin kehilangan senyuman di wajahmu. Maafkan ayah..
            Afifah. Saat pengumuman kelulusan tes tertulis. Ayah sangat bahagia, ayah sangat bangga dikaruniai anak yang sungguh cerdas sepertimu oleh Allah. Maka dari itulah, ayah tak kuasa menahan haru, ayah bersujud padaNya. Namun, tingkah ayah itu membuatmu malu. Ayah menyesal. Benar katamu, seharusnya ayah tau tempat yang lebih pantas untuk bersujud padaNya. Maafkan ayah anakku..
            Afifah, ayah tak rela kamu kedinginan disaat ayah merasa hangat. Ayah memilih untuk menukar posisi denganmu. Biarlah dingin dan lelah untuk ayah, karena memang itulah tugas seorang ayah..
            Afifah, saat terjadi musibah ayah panik dan khawatir padamu. Maafkan ayahmu yang teledor ini, yang tidak berhati-hati. Luka pada tubuh ayah, tak sebanding dengan lukamu, anakku.
            Anakku, saat kamu tersesat, ayah sangat kaget dan khawatir. Hanya air mata yang menemani saat perjalanan mencarimu. Ayah terus berdoa, agar Allah menjaga dan melindungimu dimanapun kamu berada. Sempat ayah terjatuh dan menabrak tong sampah, karena sangat tergesa-gesa mencarimu. Ayah bertanya pada orang beberapa kali untuk menemukan wilayah yang kamu sebutkan. Namun, saat ayah telah menemukanmu, ayah hanya melihat wajah murammu. Ah, lagi-lagi ayah mengecewakanmu. Ayah membuatmu terlalu lama menunggu sehingga kamu kepanasan di bawah teriknya matahari. Ayah menyesal telah meninggalkanmu saat tes. Seharusnya ayah menunggumu sampai selesai. Maafkan ayah..
            Tangisku pun pecah lagi, mengalahkan percikan air gerimis pagi itu. Timbul penyesalanku yang luar biasa dalam. Ternyata dari dulu aku hanya bisa menyusahkan dan menyalahkannya. Padahal dia selalu berusaha membuatku tersenyum.  Hanya sebuah seyuman yang mampu menjadi tolak ukur keberhasilannya menjadi seorang ayah bagi anak-anaknya.
            Aku malu pada ayah, aku malu pada Allah. Beginikah balasanku untuknya. Beginikah seorang anak yang taat pada orang tuanya. Ayah hanya pernah memarahiku sekali. Tapi aku, berkali-kali. Dia tetap sabar dan malah menyalahkan diri sendiri. Ya Allah, hamba mohon ampun atas kedurhakaan hamba padanya.
            Kini ayah telah tiada, hanya sedikit kelegaan hadir di hati karena sesaat sebelum nyawanya diambil, aku masih sempat membuatnya bahagia, dan tersenyum padanya. Namun, kisah-kisah di masa lalu ku tak akan pernah bisa ku perbaiki lagi. Kini, hanya tobat dan mohon ampun kepada Allah dan menjaga ibu yang bisa kulakukan.
***
            “Bunda, bunda…” teriak seorang anak kecil yang berlari ke arahku, menghentikan keheningan  dan lamunan yang panjang itu.
“Bunda, ayo kita pulang. Ayah sudah menunggu.”
Ya, dialah Aulia, putri pertamaku yang baru berusia 5 tahun. Tubuhnya mungil, gemuk, dan wajahnya bulat seperti aku dulu.
“Ayo, bunda..” pintanya lagi sambil menarik tanganku.
“Iya sayang, sebentar ya, bunda mau menabur bunga dulu.”
            Selesai menabur bunga pada makam ayah, aku menggendong anakku pulang menuju mobil suamiku. Hari sudah semakin gelap, azan maghrib hampir berkumandang. Suamiku menyambutku hangat.
“Sudah selesai ziarahnya bun? Maaf ya, ayah lama. Si aulia nih milih eskrimnya kelamaan, jadi daripada lebih lama lagi, ayah borong deh semuanya,” jelas suamiku dengan nada manja sambil memperlihatkan 2 plastik besar berisi es krim dan menyodorkan bibirnya menunjuk Aulia.
***
            “Ayah kini aku telah bersuami. Dia laki-laki yang sholeh dan menyayangi keluarga kita. Ia tak pernah marah padaku dan aulia. Ia begitu sopan dan lembut. Ayah kami tak pernah berpacaran, dia menghormatiku dengan proses ta’aruf lalu mengkhitbahku. Dia kakak tingkat yang satu organisasi denganku di Lembaga Dakwah Kampus saat aku mengambil S2. Dan kini dia adalah dokter yang satu tempat bekerja denganku. Allah selalu mempersatukan kami.
            Ayah, aku menemukan replika dirimu pada Mas Fadhli. Dia sangat mencintaiku dan selalu membuatku tersenyum. Dia periang, dan suka bercanda. Dia juga senang menggodaku. Ayah, aku tak salah pilih.
            Sedang cucumu Aulia, walau umurnya masih 5 tahun, dia sudah hafal juz 30. Mas Fadhli yang selalu mengajari dan membimbingnya. Mas Fadhli juga seorang hafizh,ayah. Aku sangat bahagia. Andai kau masih disini, mungkin kau juga akan turut bahagia.
            Ayah, kini ibu tinggal bersama kami. Dia akan ku jaga dengan baik dan tak akan pernah menyia-nyiakannya.
Ayah, walau gajiku dan gaji suamiku lebih dari cukup, kami akan selalu berusaha bersikap zuhud, sabar dan syukur, seperti yang sering kau ajarkan dahulu. Kami akan rajin bersedekah.
Ayah sebenarnya, masih banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu, tapi nanti jika kita telah berkumpul di sana. Bersama, disruga-Nya. InsyaAllah.
 Ayah, tidurlah dengan tenang dipembaringan abadimu. Semoga Allah senantiasa menaungimu dengan amal kebaikanmu. Aamiin”

1 comments:

amira

terharu bgt baca cerpen yh, terbayang wajah kedua orangtuaku, aba dan mama

Posting Komentar